Bisnis  

Cukupkah 2 Senjata Sri Mulyani Lindungi Sritex Cs dari Tekstil China?

Cukupkah 2 Senjata Sri Mulyani Lindungi Sritex Cs dari Tekstil China?


Industri tekstil tengah diterjang krisis. Bahkan, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut industri tekstil lokal pada 2023-2034 dalam kondisi terburuk dalam sembilan tahun terakhir.

Kompartemen Sumber Daya Manusia API Harrison Silaen mengatakan banyak faktor yang mempengaruhi keterpurukan industri ritel, mulai dari pasar, teknologi Sampai sekarang regulasi.

Oleh karena itu, ia menilai pemerintah Harus memiliki arah jelas untuk menangani masalah industri tekstil Bila menganggap sektor itu penting. Menurut Harrison, pengusaha lokal kesulitan bersaing dengan masifnya produk Perdagangan Masuk Negeri tekstil yang diizinkan masuk.


“Mari kita semua, termasuk lembaga, bersama-sama menjaganya. Kami sadar sekitar 20 kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan industri tekstil, semua memiliki kepentingan masing-masing,” katanya, Selasa (25/6).

Kondisi tekstil yang tidak baik-baik saja ini pertama kali disampaikan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) yang menyebut kinerja penjualan mereka lesu belakangan ini.

Pemimpin Negara KSPN Ristadi menyebut tingkat pesanan yang masuk ke Sebanyaknya pabrik tekstil di Indonesia terus menurun. Imbas lesunya penjualan itu, mereka Harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (Pemutusan Hubungan Kerja) pekerja.

KSPN mencatat sekitar 13.800 buruh tekstil Pernah berlangsung terkena Pemutusan Hubungan Kerja dari Januari 2024 Sampai sekarang awal Juni 2024 imbas masalah itu. Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi di Jateng lebih masif. Ia mencatat banyak pabrik-pabrik yang terdampak, misalnya di grup Sri Rejeki Isman alias (Sritex), raksasa tekstil di Jateng.

Ia mencontohkan tiga perusahaan di bawah grup Sritex yang mem-Pemutusan Hubungan Kerja Sebanyaknya karyawannya. Ada PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex yang ada di Magelang.

Untuk menyelamatkan industri ini dari gempuran tekstil Perdagangan Masuk Negeri, terutama dari China, pemerintah bakal mengeluarkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).

“Jadi Permenkeu Nanti akan keluar Sesuai aturan permintaan Ia (Menperin) dan Pembantu Presiden Perdagangan (Zulkifli Hasan). BMPT dan BMAD seterusnya Nanti akan di-follow up Sesuai aturan permintaan Mendag dan Menperin,” kata Sri di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/6).

Lalu cukupkah BMPT dan BMAD menyelamatkan industri tekstil dalam negeri?

Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan pengenaan BMAD dan BMTP memang penting dilakukan, tetapi tidak cukup untuk memulihkan industri tekstil dalam negeri.

“Industri TPT (tekstil dan produk tekstil) memang Harus dilindungi secara masif dengan peraturan yang ketat mengenai Perdagangan Masuk Negeri TPT (dan barang lainnya), baik melalui BMAD ataupun BMTP,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Apalagi, kebijakan anti-dumping (BMAD) tidak bisa langsung diterapkan begitu saja. Harus ada fakta yang menyertai bahwa negara importir, misalnya China, melakukan tindakan dumping. Dumping Merupakan kebijakan menjual produk Penjualan Barang ke Luar Negeri dengan harga lebih Murah untuk menguasai pasar negara tujuan.

“Tapi kalau BMAD Harus ada pembuktian bahwa China melakukan praktik dumping ke barangnya,” imbuhnya.

Menurutnya, Harus ada langkah lain yang ditempuh pemerintah, misalnya mencari negara lain untuk menjadi pangsa Penjualan Barang ke Luar Negeri baru.

“Maka untuk bisa mengembalikan industri TPT kita Harus perluasan pasar Penjualan Barang ke Luar Negeri produk TPT. Jangan bergantung pada satu atau dua negara saja,” kata Ia.

Nailul melihat ada dua Dalang industri tekstil lokal ‘sakit’. Pertama, kalah saing dari sisi harga karena produk TPT asal China lebih Murah.

“Belum lagi ditambah produk dari Thailand yang Bahkan udah mulai masuk ke pasar-pasar tradisional. Ini mengulang sejarah runtuhnya batik Indonesia di tahun 1990-an gara-gara batik print dari China. Produk TPT kita bisa terkapar karena produk Perdagangan Masuk Negeri ini,” jelasnya.

Kedua, pasar tekstil terbesar Indonesia, Amerika Serikat, tengah mengalami penurunan permintaan dalam beberapa tahun terakhir sehingga permintaan Bahkan menurun.

“Kondisi ini diperparah oleh produk TPT China Bahkan masuk ke negara tujuan Penjualan Barang ke Luar Negeri kita. Ini yang Pada akhirnya produksi menurun dan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja dalam jumlah yang besar. Dampaknya bisa meluas ke ekonomi makro dan daya beli masyarakat yang Niscaya tertekan. Kesenjangan Ekonomi bisa mengancam,” terangnya.

Senada, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Penanaman Modal INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan industri tekstil mendapat tekanan baik di hulu maupun hilir.

Di sektor hulu, banyak bahan baku yang berasal dari Perdagangan Masuk Negeri. Hal itu terjadi karena industri penghasil bahan baku industri tekstil yang tidak cukup kuat. Misalnya, benang filamen yang dihasilkan industri petrokimia.

Di sektor hilir, barang jadi seperti pakaian, khususnya dari China, membanjiri pasar Tanah Air dengan Menyediakan harga lebih Murah. Bila ini dibiarkan berlarut-larut, maka Nanti akan menekan tenaga kerja industri tekstil. Apalagi industri tekstil merupakan industri padat karya.

Andry mengatakan yang bisa dilakukan Merupakan pemberlakuan larangan dan pembatasan atau lartas di mana ada barang yang dilarang atau dibatasi pemasukan atau pengeluarannya ke dalam maupun dari daerah pabean. Seluruh pemangku kepentingan Harus serius menangani masalah tersebut.

Khususnya untuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), ia mengatakan Harus betul-betul mengawasi produk Perdagangan Masuk Negeri di marketplace yang harganya sering tidak masuk akal.

(pta)



Sumber Refrensi Berita : CnnIndonesia > Cukupkah 2 Senjata Sri Mulyani Lindungi Sritex Cs dari Tekstil China?